Komunikasi dalam Sunyi: Strategi Komunikasi Orang Tua Dalam Membangun Dunia Anak Autis


Setiap anak terlahir dengan keunikan. Namun, tidak semua dapat dipahami dengan cara yang sama. Bagi anak-anak dengan gangguan autisme, dunia bisa menjadi tempat yang asing dan membingungkan. Mengapa? Karena ditengah keterbatasan mereka dalam berinteraksi dan berkomunikasi, orang tua hadir sebagai pelita dan penunjuk arah yang bisa membuka jalan menuju kehidupan sosial yang lebih manusiawi. Lebih dalam, apakah kita sebagai masyarakat sudah cukup memberi ruang untuk itu? Mari renungkan. 


Autisme, atau dalam istilah medis disebut Autism Spectrum Disorder (ASD), adalah  salah satu gangguan perkembangan yang memengaruhi kemampuan komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku anak. Tidak seperti anak lain pada umumnya yang bisa  dengan mudah menyerap bahasa dan berinteraksi secara alamiah, anak autis kerap kesulitan menafsirkan ekspresi wajah, memahami makna kata, atau bahkan merespons saat namanya dipanggil. Dalam dunia mereka, makna seringkali tak hadir dalam kata-kata, melainkan dalam gestur, ritme, dan pengulangan.


Sebuah artikel ilmiah yang berjudul “ Strategi Komunikasi Orang tua pada Anak Autis” yang ditulis oleh Candra Ratna Sari dan Diana Rahmasari (2022) menyoroti pentingnya strategi komunikasi yang dilakukan oleh orang tua dalam membantu anak Autism Spectrum Disorder dalam mengembangkan kemampuannya. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan komunikasi dengan anak autis tidak hanya bergantung pada terapi klinis, tetapi juga pada pendekatan sehari-hari di rumah dengan cara melatih anak sejak dini, menerapkan pola asuh demokratis dan otoritatif, serta menanamkan sikap empati dan pikiran positif. 


Misalnya, salah satu strategi yang dianggap efektif adalah penggunaan komunikasi verbal dan nonverbal yang konsisten. Orang tua dituntut untuk berbicara dengan jelas, perlahan, dan menggunakan isyarat visual untuk mendukung pesan verbal. Di sisi lain, anak juga dibimbing untuk mengenali ekspresi wajah, menunjuk benda, atau mengungkapkan keinginannya lewat media visual seperti flashcard dan puzzle. Semua ini dilakukan berulang-ulang, bahkan kadang tanpa respons dari anak, karena seperti kata salah satu responden dalam penelitian tersebut, “Saya tahu anak saya mungkin tidak paham sekarang, tapi jika saya menyerah, dia tak akan pernah bisa belajar.”


Strategi lainnya adalah pemberian reward atau imbalan atas setiap pencapaian kecil yang dilakukan anak. Dalam kasus anak autis, pelukan hangat atau kata “hebat!” bisa memiliki dampak besar. Anak merasa dihargai dan termotivasi untuk mengulangi perilaku positif. Reward ini bukan sekadar hadiah, tetapi bagian dari penguatan emosional yang menunjukkan bahwa komunikasi adalah hal yang menyenangkan dan membangun.


Namun, strategi ini tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya pola asuh yang tepat. Orang tua dituntut untuk menerapkan pola asuh demokratis-otoritatif, yakni memberi ruang kepada anak untuk tumbuh dan mengeksplorasi, tetapi tetap dalam pengawasan  dengan batasan yang jelas. Dalam praktiknya, pola ini berarti membiarkan anak bermain sendiri tetapi tetap mengawasi dari kejauhan; membiarkan anak memilih mainan, tetapi mengajarkan cara menyimpannya kembali.


Sudut paling menarik dari artikel tersebut adalah temuan bahwa sikap mental orang tua ternyata lebih memengaruhi keberhasilan komunikasi dibandingkan teknik yang digunakan. Orang tua yang menunjukkan empati, bersikap suportif, dan berpikir positif, cenderung lebih berhasil membangun relasi dengan anak mereka. Dua responden dalam penelitian itu mengakui bahwa penerimaan mereka terhadap kondisi anak menjadi titik balik dari penyangkalan dan frustrasi menuju kesadaran bahwa komunikasi bukan soal berbicara, tetapi soal hadir.


Sayangnya, tidak semua keluarga memiliki lingkungan yang mendukung. Dalam kasus subjek pertama dalam artikel tersebut, keluarga besar justru menunjukkan sikap diskriminatif terhadap anak autis, bahkan cenderung menjauhi. Kondisi ini membuat orangtua berjuang sendiri. Sebaliknya, subjek kedua mendapat dukungan keluarga besar sehingga bisa lebih maksimal menerapkan strategi komunikasi. Ini menunjukkan bahwa keberhasilan komunikasi tidak hanya berada di tangan orang tua, tetapi juga lingkungan sosial yang mengelilinginya.


Realitas ini menunjukkan bahwa pendekatan terhadap autisme tidak cukup hanya dibebankan pada orang tua dan tenaga medis. Masyarakat dan negara harus turut serta menciptakan ekosistem yang ramah terhadap anak berkebutuhan khusus. Edukasi publik mengenai Autism Spectrum Disorder perlu diperluas, akses terapi harus diperbanyak, dan yang paling penting stigma sosial harus dilenyapkan. Selama autisme masih dianggap sebagai "aib" atau "kesalahan pola asuh", maka perjuangan orang tua akan selalu berjalan di jalan sunyi.


Autisme bukanlah akhir dari segalanya. Anak dengan Autism Spectrum Disorder bukan tidak bisa berkomunikasi, hanya saja mereka memerlukan bahasa yang berbeda, ritme yang unik, dan penerimaan yang utuh. Di sinilah peran orang tua menjadi begitu bermakna sebagai pelatih, pengasuh, sekaligus jembatan yang menghubungkan dunia anak dengan realitas sosial. Jika kita ingin melihat anak-anak autis hidup bermartabat dan berkembang, maka yang pertama-tama harus kita ubah adalah cara kita berkomunikasi bukan hanya dengan mereka, tetapi juga tentang mereka.


Maka, refleksi untuk kita semua adalah: sudahkah kita memberikan ruang yang cukup bagi anak-anak autis untuk tumbuh dengan martabat? Sudahkah kita mendukung para orang tua yang tiap hari melatih komunikasi, kadang tanpa balasan kata, namun penuh cinta? Jika belum, maka hari ini adalah waktu terbaik untuk mulai berubah. Karena komunikasi bukan sekadar soal bicara, tapi soal kehadiran. Dan setiap anak, termasuk mereka yang tampak diam, punya suara yang pantas didengar.


Akhirnya, tulisan ini adalah undangan untuk kita semua. Mari kita belajar menjadi pendengar yang lebih baik, bukan hanya dengan telinga, tetapi dengan hati. Mari kita hentikan menyudutkan orangtua dari anak-anak autis, dan mulai mendukung mereka karena dibalik anak yang tampak sunyi, ada suara yang menanti untuk didengar, ada dunia yang menunggu untuk dipeluk.


Penulis : Karisma Yanti (L1B022011)

Referensi:

Sari, C. R., & Rahmasari, D. (2022). Strategi Komunikasi Orang Tua pada Anak Autis. 



Comments

Popular posts from this blog

Kuliah atau Kerja? Menimbang Prioritas Anak Muda Masa Kini

Keadilan Itu Ada, Tapi Tidak Untuk Semua