Kuliah atau Kerja? Menimbang Prioritas Anak Muda Masa Kini
Selama tiga tahun menimba
ilmu di bangku sekolah menengah atas (SMA), lazim bagi remaja berusia 17–19
tahun untuk mulai memikirkan dan mengambil keputusan penting dalam hidup:
apakah akan melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, atau memilih langsung
bekerja. Keputusan ini tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, melainkan
juga oleh pola pikir dan lingkungan sosial yang membentuk perspektif setiap
individu.
Belakangan ini, media
sosial dipenuhi oleh konten-konten yang membandingkan, bahkan menyindir,
pilihan antara kuliah dan bekerja. Platform seperti TikTok, Instagram, dan
Facebook menjadi ruang terbuka untuk publik menyampaikan opini, komentar,
maupun kritik terhadap isu ini. Fenomena tersebut mencerminkan betapa persoalan
“kuliah atau kerja” terus menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat.
Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Widuri, A. W. P., & Suwarno, A. N. (2024) “Fenomena
‘Kuliah adalah Pengangguran dengan Gaya’ pada Konten TikTok: Kajian
Psiko–Sosiolinguistik”, dijelaskan bahwa kalimat “Kuliah adalah
Pengangguran dengan Gaya” secara psikologis merupakan bentuk ekspresi emosi
yang dituangkan melalui tuturan verbal. Kalimat ini mencerminkan pandangan
subjektif individu terhadap pendidikan dan pekerjaan yang sering kali
dipengaruhi oleh pengalaman pribadi. Ungkapan tersebut menunjukkan skeptisisme
sebagian kelompok terhadap pentingnya pendidikan formal sebagai jalan utama
menuju kesuksesan.
Namun, bagaimana dengan
mereka yang menjalani kedua peran tersebut? Kuliah sambil bekerja paruh waktu
telah menjadi pilihan bagi sebagian mahasiswa. Menurut Daulay (2009), motivasi
mahasiswa untuk bekerja paruh waktu mencakup faktor ekonomi, mengisi waktu
luang, keinginan untuk hidup mandiri, serta mencari pengalaman. Selaras dengan
itu, Dudija (2011) menambahkan bahwa dorongan untuk bekerja juga berasal dari
kebutuhan finansial, kebutuhan sosial, dan kebutuhan pendidikan. Ia bahkan
menyoroti adanya pengaruh kerja paruh waktu terhadap keberhasilan akademik
mahasiswa.
Sementara itu, bagi
mereka yang memilih langsung bekerja setelah lulus SMA, keputusannya sering
kali didasari oleh berbagai pertimbangan rasional. Ada yang terkendala biaya
pendidikan, ada pula yang berasal dari lingkungan yang memandang bahwa 12 tahun
pendidikan dasar dan menengah sudah cukup sebagai bekal hidup. Pada akhirnya,
semua orang akan memasuki medan kompetisi yang sama: yakni dunia kerja. Entah
mereka yang sudah lebih dahulu terjun bekerja, atau mereka yang lebih dulu
menempuh pendidikan tinggi untuk memperluas ilmu, pengalaman, dan jaringan.
Setiap pilihan tentu
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap individu memiliki
tujuan dan definisinya sendiri tentang kesuksesan. Kata “sukses” acap kali
terselip dalam diskusi “kuliah atau kerja”, tetapi perlu diingat bahwa
kesuksesan bersifat subjektif. Apakah sukses berarti memiliki gaji dua digit?
Rumah mewah dan kendaraan pribadi lebih dari satu? Tabungan yang menjamin masa
depan selama puluhan tahun? Atau, mungkin, sukses adalah memiliki ilmu dan pola
pikir yang terus berkembang, serta keyakinan bahwa pendidikan adalah bekal
hidup yang abadi? Sebab pada akhirnya, sukses bagi setiap orang berbeda, tidak
bisa diseragamkan, dan bersifat dinamis.
Najwa Shihab dalam salah
satu program Narasi pernah berkata, “Jangan terlalu lama diam
menimbang-nimbang, karena masa depan terus bergerak dan yang akan membuat kita
tidak tertinggal adalah aksi, bukan kata dalih ‘nanti’. Jadi, singkirkan
jauh-jauh kata ‘nanti’. Fokus pada aksi apa yang bisa kita lakukan hari ini,
karena masa depan itu milik anak muda. Mari rangkul masa depan mulai dari
sekarang.”
Pesan tersebut mengajak
orang-orang terkhusus anak muda untuk berani mengambil keputusan dan tidak
larut dalam pertimbangan tanpa tindakan. Apakah memilih untuk kuliah, bekerja,
atau menjalani keduanya sekaligus, semua adalah keputusan yang benar. Yang keliru
adalah ketika seseorang terlalu nyaman bergantung pada orang lain dan
menunda-nunda langkah dengan dalih waktu masih panjang.
Maka dari itu, penting
untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap keputusan yang
diambil. Kuliah dan meraih gelar sarjana bisa menjadi batu loncatan dalam
karier, jika dijalani dengan tekun dan penuh kesadaran. Tidak hanya dari sisi
akademik, tetapi juga dari pengalaman organisasi, relasi sosial, serta wawasan
hidup yang diperoleh selama masa kuliah. Begitu pun bekerja, pengalaman dan
keterampilan yang diperoleh langsung dari dunia nyata adalah bekal yang
berharga, selama dijalani dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab.
Penulis : Niza Ervia
Seftiawati (L1B022074)
REFERENSI
Daulay, S. F. (2009). Perbedaan
self regulated learning antara mahasiswa yang bekerja dan yang tidak bekerja.
Universitas Sumatera Utara.
Dudija, N. (2011).
Perbedaan motivasi menyelesaikan skripsi antara mahasiswa yang bekerja dengan
mahasiswa yang tidak bekerja. Humanitas: Jurnal Psikologi Indonesia, 8(2),
195–206.
Widuri, A. W. P., &
Suwarno, A. N. (2024). Fenomena “Kuliah adalah Pengangguran dengan Gaya”
pada konten TikTok: Kajian psiko‑sosiolinguistik. Pubmedia Social Sciences
and Humanities, 2(1), 12.
Artikel
https://mimbarnasional.com/2023/03/27/najwa-shihab-guru-bagi-para-mahasiswa/?utm
Comments
Post a Comment