ARTIFICIAL INTELLEGENCE MELUMPUHKAN KEMAMPUAN BELAJAR DASAR DI INDONESIA

 

Perkembangan dunia digital menyebabkan maraknya artificial intellegence (AI) atau kecerdasan buatan yang dapat dimanfaatkan di dunia pendidikan. Pengguna dapat menggerakkan AI sesuai kebutuhannya. Kemudahan dalam memenuhi kebutuhan tersebut menyebabkan ketergantungan. Ketergantungan menyebabkan pelajar Indonesia malas berpikir dan senantiasa mengandalkan hasil dari kecerdasan buatan. Alhasil, sistem pembelajaran dasar bagi peserta didik menjadi lumpuh karena tidak adanya kemampuan berpikir dan giat mencari pengetahuan. Peserta didik menjadi tidak kreatif dan terampil, tidak mampu bernalar kritis, menurunnya sistem diskusi, dan tidak mampu menghasilkan ide inovatif. Indonesia semestinya menguatkan kemampuan belajar dasar agar menumbuhkan rasa tanggung jawab dan bijaksana dalam mengamalkan esensi  pendidikan sebagaimana seharusnya.



Berdasarkan data dari data.goodstats.id pada 2024, Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai negara dengan penggunaan situs AI tertinggi. Amerika Serikat dan India secara berturut-turut menduduki peringkat pertama dan kedua. GoodStats mencatat bahwa pengguna dari Indonesia mengunjungi AI sebanyak 1,4 juta. Sementara itu, menurut databoks.katadata.co.id, di Indonesia paling banyak menggunakan ChatGPT, yakni sebanyak 52%. Selain itu, sebagian besar responden, yakni 40%, menggunakan AI lebih dari satu kali dalam sebulan. Kemudian, survei yang dilakukan oleh Tirto dan Jakpat terhadap siswa SMA dan kuliah menunjukan bahwa sebanyak 86,21% menggunakan AI untuk menyelesaikan tugas.

 

Oleh sebab itu, penggunaan AI yang tinggi di Indonesia yang dimanfaatkan pula pada bidang pendidikan khususnya peserta didik yang menyebabkan ketergantungan. Peserta didik kerap menggunakan tools ini pada tugas-tugas yang diberikan oleh tenaga pendidik. Pertama, ketergantungan ini menjadikan peserta didik tidak kreatif dan terampil. Peserta didik yang mengandalkan AI seutuhnya menjadi pasif dan tidak berusaha mencari sumber rujukan lain, serta memberikan gagasan kreatif lain. Kemudian, kemampuan bernalar secara kritis menjadi lumpuh, sebab kemudahan akses menjadikan pengguna tidak perlu memikirkan kembali jawaban atas informasi yang dibutuhkan. Mengapa mereka harus berpikir ekstra jika setiap mengajukan pertanyaan dan memberikan perintah, AI memiliki jawaban yang lengkap, cepat, dan mampu memberikan analisis. 

 

Selanjutnya, sistem diskusi dalam dunia pendidikan yang mengharuskan peserta didik membentuk kelompok diskusi bersama teman, bahkan melibatkan tenaga pendidik kian terkikis. AI menjadi tumpuan pertama untuk berdiskusi, walaupun diskusi hanya berupa tanya jawab yang tidak melibatkan nalar kritis dari pengguna. Akhirnya, interaksi sosial yang dapat terjalin antar peserta didik menurun. Selanjutnya, gagasan ide inovatif juga lumpuh karena ide-ide yang semestinya dicetuskan secara mandiri malah mengandalkan AI. Kecerdasan buatan dapat melakukan segala tugas sesuai dengan arahan pengguna, baik memberikan opini, gagasan terbaru, memberikan jawaban umum, serta menghasilkan karya.

 

Penggunaan AI memang tak dapat dihindari seiring dengan arus perkembangan teknologi yang masif. Akan tetapi, peserta didik mesti bertanggung jawab dan bijak dalam menggunakan kecerdasan buatan. Tanggung jawab dan bijak tersebut dapat diwujudkan melalui pemahaman terhadap esensi pembelajaran dan pendidikan yang sebenarnya. Peserta harus memahami bahwa pendidikan sejatinya untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan, kemampuan bernalar, dan kreativitas. Hal tersebut tak dapat dicapai melalui ketergantungan terhadap AI. Sejatinya, penggunaan AI hanya digunakan sebagai tempat brainstorming yang memerlukan tindakan kritis. Bukannya menelan mentah-mentah informasi dan hasil yang diberikan.

 

Sayangnya, kesadaran tersebut sangat minim dimiliki oleh peserta didik. Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan dan prosedur ketat oleh pemerintah terkait pembatasan dan regulasi penggunaan AI. Sistem pendidikan di Indonesia erat kaitannya dengan tindak tanduk pemerintah melalui regulasi. Ketergantungan terhadap artificial intellegence juga terjadi karena tidak adanya aturan yang jelas mengenai sejauh mana dan untuk apa AI dapat digunakan. Sebagai contoh negara yang memproduksi kecerdasan buatan, Deepseek, yang menonaktifkan AI selama ujian berlangsung. Ini sebagai bentuk ketegasan pemerintah dalam membendung masifnya penggunaan AI di bidang pendidikan.

 

Namun, alih-alih memberikan bentuk pengaturan ketat terhadap penggunaan AI yang berlebihan, pemerintah justru memasukkan penggunaan AI ke dalam kurikulum pembelajaran. Langkah yang dianggap strategis ini disinyalir penting bagi anak-anak Indonesia agar tidak sekedar menggunakan teknologi, namun tumbuh sebagai penggagas yang mampu mengembangkan solusi berbasis AI. Langkah ini harus melalui perencanaan yang tepat agar menghasilkan peserta yang cerdas dan terdidik sesuai dengan yang diinginkan. Sebelum menambahkan AI pada kurikulum pembelajaran, pemerintah mesti meninjau pemantapan kemampuan pendidikan dasar Indonesia agar tidak melangkahi kebutuhan ini.

 

Kemampuan dasar dalam pendidikan, meliputi kemampuan literasi (membaca, menulis, dan berhitung), memahami konsep dasar mata pelajaran, pengembangan keterampilan berpikir kritis, dan pembangunan karakter dan nilai-nilai dasar. Sementara itu, Program Penilaian Siswa Internasional atau Programme for International Student Assessment (PISA) adalah penilaian yang digunakan untuk mengukur kompetensi matematika, sains, dan literasi peserta didik secara global. Berdasarkan informasi dari smeru.or.id, PISA 2018 menunjukan bahwa Indonesia menempati posisi ke 74 dari 79 negara yang berpartisipasi dengan perolehan skor membaca 371, skor matematika 379, dan skor sains 396. 

 

Kemudian, goodstats.id menyampaikan bahwa pada PISA 2022, Indonesia menempati posisi ke 69 dari 80 negara yang berpartisipasi  dengan peraihan skor matematika sebesar 366, skor sains 383, dan skor membaca 359. Sedangkan di wilayah ASEAN, Indonesia menempati posisi ke-6. Sekilas terlihat sebuah prestasi yang baik karena perpindahan dari peringkat 74 ke 69, namun skor membaca dan sains menurun. Dalam hal ini, Indonesia jauh tertinggal karena skor tersebut berada di bawah rata-rata negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Hal ini yang harus diperhatikan pemerintah terlebih dahulu.

Sementara itu, goodstats.id yang mencatat Survei Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) 2023 mengungkap bahwa kurang dari 50% responden memiliki kesadaran untuk memeriksa sumber informasi sebelum membagikannya, mencerminkan rendahnya kemampuan literasi digital dan berpikir kritis di masyarakat. Hanya 23% responden yang mendukung tindakan identifikasi sumber informasi, jauh lebih sedikit dibandingkan mereka yang bersikap netral atau tidak setuju, sehingga berkontribusi pada maraknya penyebaran hoaks. Penyebaran hoaks menjadi bentuk tindakan kesiapan dalam berpikir kritis masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut, pemerintah mesti merancang strategi guna menguatkan kemampuan dasar dalam pendidikan dasar di Indonesia. Selain itu, membatasi adanya penggunaan AI sebagai rujukan utama dan menekankan bahwa AI digunakan untuk teman berdiskusi secukupnya tanpa menghilangkan esensi diskusi sebagai interaksi sosial. Kedua hal tersebut harus dilakukan segera, apalagi di tengah gempuran dunia digital. Apabila penguatan kemampuan dasar tidak dilakukan dengan serius maka sama saja dengan memelihara kebodohan di Indonesia. Apabila tidak membatasi penggunaan AI dengan regulasi yang jelas, maka sama saja dengan memfasilitasi kenyamanan yang berangsur melumpuhkan nalar dan esensi pembelajaran yang sesungguhnya.

Penulis: Ida Ayu Made Widya Astiti (L1B022052)

Referensi :

 data.goodstats.id. (2024, 22 Februari). 10 Negara Pengguna AI Terbanyak, Indonesia Salah Satunya. Diakses pada 19 Juni 2025, dari https://data.goodstats.id/statistic/10-negara-pengguna-ai-terbanyak-indonesia-salah-satunya-RLlmC

databoks.katadata.co.id. (2023, 26 Juni). Survei: ChatGPT Jadi Aplikasi AI Paling Banyak Digunakan di Indonesia. Diakses pada 19 Juni 2025, dari https://databoks.katadata.co.id/infografik/2023/06/26/survei-chatgpt-jadi-aplikasi-ai-paling-banyak-digunakan-di-indonesia

goodstats.id. (2024, 23 September). Posisi Indonesia di PISA 2022, Siapkah untuk 2025?. Diakses pada 19 Jui 2025, dari https://goodstats.id/article/posisi-indonesia-di-pisa-2022-siapkah-untuk-2025-6RLyK

goodstats.id. (2024, 30 Oktober). Rendahnya Kemampuan Berpikir Kritis: Tantangan Besar dalam Menghadapi Era Digital Indonesia. Diakses pada 19 Juni 2025, dari https://goodstats.id/article/rendahnya-kemampuan-berpikir-kritis-tantangan-besar-dalam-menghadapi-era-digital-indonesia-VAcPY

smeru.or.id. (2019, 6 Desember). Global PISA Melorot, Kualitas Guru dan Disparitas Mutu Penyebab Utama. Diakses pada 19 Juni 2025, dari https://smeru.or.id/id/article-id/skor-siswa-indonesia-dalam-penilaian-global-pisa-melorot-kualitas-guru-dan-disparitas#:~:text=Kabar%20buruk%20ini%20datang%20setelah,gagal%20mendongkrak%20kualitas%20literasi%20siswa.

tirto.id. (2024, 31 May). Makin Marak Siswa Pakai AI untuk Mengerjakan Tugas. Diakses pada 19 Juni 2025, dari https://tirto.id/penggunaan-ai-di-dunia-pendidikan-makin-marak-dan-merata-gZax


Comments

Popular posts from this blog

Kuliah atau Kerja? Menimbang Prioritas Anak Muda Masa Kini

Keadilan Itu Ada, Tapi Tidak Untuk Semua

Komunikasi dalam Sunyi: Strategi Komunikasi Orang Tua Dalam Membangun Dunia Anak Autis