Begadang, Hal Wajar Untuk Merusak Mental dan Fisik
Tidak bisa dipungkiri bahwa kegiatan telat tidur hingga tengah malam atau biasa disebut begadang merupakan aktivitas yang lumrah atau sering terjadi dikalangan masyarakat di berbagai usia. Kadang kala, begadang merupakan hal yang harus dilakukan, baik itu untuk pekerjaan, mengerjakan tugas, merefleksikan diri dari kesibukan harian, bahkan hanya untuk “nongkrong” dengan teman. Mereka seharusnya mengetahui, dampak begadang bagi kesehatan dan kemungkinan mereka tidak menghiraukannya, karena mustahil di zaman serba teknologi untuk tidak mengetahui informasi melalui media sosial atau melalui Google.
Efek begadang dapat menimbulkan resiko tekanan darah tinggi, tiga kali lipat dapat terjangkit flu, 48% peningkatan resiko terkena penyakit jantung, meningkatkan hormon rasa lapar yang berlebih, dan menurunkan sistem imun akibat berkurangnya sel darah putih (hopkinsmedicine.org). Hal tersebut merupakan sebagian kecil dari dampak yang diperoleh dari begadang namun berdampak panjang pada kesehatan dalam tubuh. Hal-hal kecil tersebut dapat semakin parah jika aktivitas begadang tetap terjadi.
Akibat dari peningkatan hormon rasa lapar dapat menyebabkan obesitas, hal ini dikarenakan hormon Ghrelin meningkat +28%, sehingga rasa lapar yang terus bermunculan dan kapasitas tubuh yang sudah melebihi, mengakibatkan obesitas untuk jangka panjang (Bacaro, et al. 2020). Kemudian penurunan sistem imun, hanya satu malam kurang tidur, terjadi penurunan aktivitas proliferasi limfosit (CD4, CD8, HLA‑DR) yang pulih 4–7 hari kemudian, menurunkan kemampuan tubuh melawan pathogen (Wilder-Smits, et al. 2013). Kemudian pengurangan massa otot, satu malam tanpa tidur atau begadang dapat menurunkan kekuatan otot kaki secara signifikan. Ini memicu kondisi yang bisa disamakan dengan kelelahan fisik yang ekstrem, dan berpotensi memengaruhi performa dalam olahraga dan aktivitas berat (Kujawa, et al. 2020).
Fenomena mahasiswa begadang adalah realitas pahit yang kian membudaya, seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas akademisi. Data statistik yang ada mengafirmasi bahwa kebiasaan ini bukan lagi sekadar kasus individual, melainkan masalah sistemik yang mencangkup kualitas hidup sebagian besar mahasiswa di Indonesia. Angka-angka mencolok, seperti 76,1% mahasiswa yang sering begadang dan 95,6% yang memiliki kualitas tidur buruk, menggambarkan betapa parahnya situasi ini. Ini bukan lagi sekadar pilihan gaya hidup, melainkan cerminan dari tekanan yang merusak kesehatan fisik dan mental mahasiswa.
Opini saya, akar permasalahan ini merujuk pada dua faktor dominan yang saling bersangkutan: kurang memanajemen waktu dan gaya hidup digital yang konsumtif.
Pertama, kurangnya memanajemen waktu. Survei dari goodnewsfromindonesia.id, menunjukkan tugas kuliah sebagai faktor paling dominan penyebab begadang. Angka 28% menunjukan bahwa mahasiswa lebih dominan mengerjakan tugas diwaktu malam, dan faktor dominan kedua yaitu 26,7% yang menunjukan bahwa mahasiswa begadang untuk bermaian media sosial. Hal tersebut adalah bukti nyata bahwa waktu mereka terkuras habis karena tidak bisa memanajemen waktu disepanjang harinya. Ketika manajemen waktu pribadi belum optimal, tumpukan tugas ini menjadi beban di malam hari, memaksa mereka terjaga demi mengejar ketertinggalan. Selain itu, 75% responden mahasiswa menunjukan bahwa mereka tidur lebih dari jam 12 malam. Hal ini mengakibatkan mahasiswa kelelahan sepanjang hari, kesulitan fokus dalam pembelajaran, mudah stress dan cemas, serta dapat menyebabkan penurunan prestasi akademik. Mahasiswa perlu untuk memanajemen ulang pemanfaatan waktu sepanjang hari, jika perlu membuat plan jauh hari untuk mengerjakan dan tidak menumpuk pada hari pengumpulan tugas.
Kedua, penggunaan gadget dan media sosial menjadi hal yang menjebak mahasiswa dalam siklus begadang. Di era digital ini, smartphone bukan lagi alat bantu, melainkan ekstensi diri yang sulit dilepaskan. Data dari detikEdu.com, bahwa hampir separuh pengguna internet di Indonesia berusia 19-34 tahun dan 69,9% mahasiswa menggunakan gadget 35 menit sebelum tidur menegaskan betapa kuatnya ketergantungan teknologi. Bahkan, 67,8% penduduk usia 18-35 tahun menghabiskan lebih dari tiga jam setiap malam untuk aktivitas digital setelah pukul 22.00. Ini bukan sekadar hiburan, ini adalah gangguan serius yang secara langsung memicu insomnia, sebagaimana dialami oleh 46,1% mahasiswa akibat penggunaan gadget berlebihan. Cahaya biru dari layar gadget menekan produksi melatonin, hormon tidur, sehingga tubuh sulit merasakan kantuk. Lingkungan pertemanan juga tidak lepas dari pengaruh ini, di mana diskusi kelompok atau sekadar “nongkrong” virtual bisa berlangsung hingga larut malam.
Realitas ini diperparah dengan anggapan sebagian mahasiswa bahwa begadang adalah "budaya" atau bahkan tanda produktivitas. Pernyataan yang keliru ini harus diubah. Begadang bukan pencapaian, melainkan ancaman serius bagi kesehatan dan masa depan mereka. Penurunan fungsi kognitif, daya tahan tubuh yang melemah, serta risiko gangguan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi adalah konsekuensi nyata yang tak bisa diabaikan. Itu sebabnya banyak kasus saat ini yang mengeluhkan “mental illness”, padahal dengan bisa mengendalikan nafsu untuk tidak begadang dan pintar memanajemen waktu, generasi ini mungkin lebih sehat dan bebas dari masalah mental. Belum lagi informasi-informasi yang terkandung di media sosial saat ini yang “membentuk” kepribadian seolah-olah individu tersebut ikut merasakan dan pengakuan dari informasi-informasi tersebut.
Sudah saatnya kita, sebagai mahasiswa, institusi pendidikan, bergerak untuk memutus lingkaran begadang ini. Edukasi tentang manajemen waktu, literasi digital, dan pentingnya kesehatan tidur harus digalakkan secara masif. Mahasiswa perlu didorong untuk memprioritaskan tidur sebagai pondasi kesehatan fisik dan mental, bukan sebagai kemewahan yang bisa dikorbankan. Tanpa tindakan serius, kita berisiko menciptakan generasi yang cerdas secara intelektual, namun rapuh secara fisik dan mental.
Penulis : I Gede Bagus Bhaskara Doctyana Mas (L1B022050)
Referensi :
https://www.hopkinsmedicine.org/health/wellness-and-prevention/the-effects-of-sleep-deprivation
Bacaro, V., Ballesio, A., Cerolini, S., Vacca, M., Poggiogalle, E., Donini, L. M., Lucidi, F., & Lombardo, C. (2020). Sleep duration and obesity in adulthood: An updated systematic review and meta-analysis. Obesity research & clinical practice, 14(4), 301–309. https://doi.org/10.1016/j.orcp.2020.03.004
Wilder-Smith, A., Mustafa, F. B., Earnest, A., Gen, L., & Macary, P. A. (2013). Impact of partial sleep deprivation on immune markers. Sleep medicine, 14(10), 1031–1034. https://doi.org/10.1016/j.sleep.2013.07.001
Kujawa, K., Ołpińska-Lischka, M., & Maciaszek, J. (2020). The Influence of 24-Hour Sleep Deprivation on the Strength of Lower Limb Muscles in Young and Physically Fit Women and Men. Sustainability, 12(7), 2762. https://doi.org/10.3390/su12072762
Good News From Indonesia. (2025). Hasil Survei: Kurang Tidur Mahasiswa Menjadi Tren, Apa Penyebab dan Dampaknya?. Diakses dari: https://www.goodnewsfromindonesia.id/2025/04/30/hasil-survei-kurang-tidur-mahasiswa-menjadi-tren-apa-penyebab-dan-dampaknya
Indonesiana. (2025). Fenomena Begadang di Kalangan Mahasiswa, Mungkinkah Tugas Kuliah Menjadi Pemicu Utama? Diakses dari: https://www.indonesiana.id/read/170940/fenomena-begadang-di-kalangan-mahasiswa-mungkinkah-tugas-kuliah-menjadi-pemicu-utama
detikEdu. (2023). 65% Mahasiswa Punya Kualitas Tidur Buruk, Apa Penyebabnya? Diakses dari: https://www.detik.com/edu/perguruan-tinggi/d-6979607/65-mahasiswa-punya-kualitas-tidur-buruk-apa-penyebabnya
Comments
Post a Comment