Dampak Kecanduan Gawai pada Kesehatan Mental Remaja dan Mahasiswa: Ilusi Konektivitas di Era Digital


Di balik kilau notifikasi dan kemudahan akses informasi yang disediakan oleh perangkat digital, terdapat sebuah ironi yang menggerogoti generasi muda: semakin terhubung secara digital, semakin terasing secara emosional. Fenomena kecanduan gawai, yang kini tidak hanya menargetkan remaja di bangku sekolah tetapi juga mahasiswa di perguruan tinggi, bukan lagi sekadar kebiasaan buruk yang dapat dimaafkan, melainkan ancaman serius bagi kesehatan mental yang memerlukan perhatian yang mendalam. Ironisnya, alat yang dirancang untuk mendekatkan kita dengan informasi dan orang lain justru secara perlahan menjauhkan kita dari realitas diri, interaksi tatap muka yang bermakna, dan lingkungan sekitar yang esensial untuk keseimbangan psikologis. Kita sering melihat pemandangan di mana sekelompok teman berkumpul, namun setiap individu terbenam dalam layar gawainya masing-masing, menciptakan sebuah 'kesendirian kolektif'.


Untuk memahami seberapa besar isu ini dan mengapa ia menjadi ancaman yang serius, kita perlu melihat data konkret yang menunjukkan skala dan dampaknya. Survei terbaru yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2023 mengungkapkan data yang mengejutkan: durasi akses internet masyarakat Indonesia rata-rata mencapai 7 jam 42 menit per hari, dengan lebih dari 90% dari waktu tersebut dihabiskan melalui perangkat seluler (APJII, 2024). Angka ini, jika dibandingkan dengan rekomendasi para ahli kesehatan yang menyarankan pembatasan waktu layar untuk menjaga kesehatan mata dan mental, jauh melampaui batas ideal.


Lebih dari sekadar durasi penggunaan, bukti ilmiah juga semakin memperkuat kekhawatiran ini pada aspek kesehatan mental. Sebuah studi komprehensif yang diterbitkan dalam Journal of Affective Disorders pada tahun 2020 menemukan adanya korelasi signifikan dan langsung antara penggunaan smartphone yang berlebihan (didefinisikan sebagai kecanduan smartphone) dengan peningkatan risiko depresi, kecemasan, serta gangguan tidur di kalangan mahasiswa dan remaja (Liu et al., 2020). Studi ini, yang melibatkan ribuan responden, menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat ketergantungan pada gawai, semakin besar pula kemungkinan seseorang mengalami gejala-gejala gangguan mental tersebut.


Data ini tidak berdiri sendiri. Laporan dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia secara konsisten mencatat peningkatan prevalensi kasus gangguan kecemasan dan depresi di kalangan usia produktif (15-64 tahun) dalam beberapa tahun terakhir (Kemenkes RI, 2023). Meskipun tidak secara eksplisit hanya menyebut gawai sebagai pemicu, laporan tersebut mengindikasikan bahwa perubahan gaya hidup digital yang didominasi oleh perangkat gawai adalah salah satu faktor kontekstual yang berkontribusi signifikan terhadap tren ini. Selain itu, WHO (World Health Organization) sendiri telah mengakui fenomena "gaming disorder" sebagai kondisi kesehatan mental yang dapat didiagnosis dalam Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD-11) mereka, yang meskipun berfokus pada video game, namun menekankan potensi perilaku adiktif terhadap teknologi digital secara umum (WHO, 2019). Data-data global dan nasional ini adalah alarm yang jelas bagi kita semua bahwa kecanduan gawai bukan lagi mitos, melainkan realitas medis dan sosial yang membutuhkan penanganan serius.


Fenomena kecanduan gawai ini tidak dapat dianggap remeh sebagai sekadar pilihan gaya hidup individu. Jika kita melakukan analisis yang lebih mendalam, durasi penggunaan gawai yang berlebihan secara langsung mengurangi waktu yang tersedia untuk aktivitas fisik seperti berolahraga atau sekadar berjalan kaki di luar ruangan yang sangat penting untuk pelepasan stres dan produksi endorphin. Selain itu, waktu untuk interaksi sosial secara langsung juga berkurang secara signifikan, padahal ini merupakan pondasi penting untuk membangun keterampilan komunikasi non-verbal dan empati. Yang tidak kalah penting, waktu tidur yang berkualitas juga sering kali terkorbankan akibat kebiasaan "balas dendam" tidur atau terus-menerus memeriksa gawai hingga larut malam, yang mengganggu ritme sirkadian alami tubuh.


Kondisi ini semakin diperburuk oleh tekanan yang tidak terlihat dari media sosial, di mana representasi kehidupan yang sempurna dan sering kali tidak realistis disajikan tanpa henti. Hal ini dengan mudah memicu perbandingan sosial yang negatif, menimbulkan rasa tidak cukup, dan memicu kecemasan akan Fear of Missing Out (FOMO), yaitu ketakutan akan ketinggalan pengalaman yang menyenangkan atau penting yang dialami oleh orang lain. Lebih jauh lagi, kita harus menyadari bahwa aplikasi gawai dirancang dengan algoritma yang adiktif, secara sengaja menciptakan siklus dopamine loop yang membuat penggunanya terus merasa ingin memeriksa perangkat, mengejar sensasi instan dari setiap notifikasi atau like. Ini bukan sekadar kurangnya disiplin individu, melainkan sebuah ekosistem digital yang secara sistematis mendorong dan memperkuat perilaku adiktif.


Dampak yang lebih jauh juga dirasakan pada kemampuan kognitif, seperti konsentrasi dan memori. Mahasiswa yang seharusnya berkonsentrasi pada materi perkuliahan seringkali terganggu oleh notifikasi yang terus-menerus muncul, yang mengakibatkan penurunan performa akademik dan kemampuan untuk menyerap informasi secara mendalam. Meskipun interaksi virtual memberikan kemudahan dan kenyamanan, penting untuk diingat bahwa hal itu tidak dapat sepenuhnya menggantikan kedalaman dan kekayaan hubungan interpersonal yang hanya dapat terbentuk melalui kontak fisik, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan empati yang tulus dalam komunikasi langsung. Ironisnya, kita sering melihat pemandangan di mana meja-meja kantin atau ruang tunggu dipenuhi oleh individu yang terpaku pada layar ponsel mereka masing-masing, kehilangan kesempatan berharga untuk membangun koneksi yang bermakna dan merasakan kehadiran satu sama lain.


Dengan semua penjelasan ini, jelas bahwa kecanduan perangkat adalah pandemi yang tidak terlihat yang secara mendasar mengancam dasar kesehatan mental generasi kita. Ini bukan tentang menolak kemajuan teknologi yang memang memberikan banyak keuntungan, tetapi tentang membangun kesadaran kritis dan disiplin dalam penggunaannya. Pertanyaan mendasar yang perlu kita tanyakan pada diri sendiri adalah: Apakah kita yang mengendalikan teknologi, atau teknologi yang pada akhirnya mengendalikan kita? Jawabannya akan sangat mempengaruhi kualitas hidup kita.


Saatnya kita, sebagai mahasiswa yang berada di garis depan perubahan dan bagian dari masyarakat modern, untuk merenungkan kembali hubungan kita dengan perangkat. Mari kita berani mendefinisikan ulang arti "konektivitas" yang sesungguhnya. Mungkin, inilah saatnya kita secara sadar meletakkan perangkat sejenak, mengangkat pandangan dari layar, dan menatap langsung mata orang di samping kita. Kehidupan nyata, dengan segala nuansa kompleksitas, kehangatan emosi, dan spontanitasnya, jauh lebih kaya, bermakna, dan vital bagi kesejahteraan kita dibandingkan dengan deretan feeds di layar. Mari kita menginvestasikan waktu dan energi kita pada interaksi nyata, terlibat dalam aktivitas di luar ruangan, dan meluangkan waktu untuk refleksi diri tanpa gangguan digital. Kesehatan mental kita, dan masa depan generasi ini, sangat bergantung pada kesadaran kolektif untuk secara proaktif memutus belenggu digital yang tidak terlihat ini.


Penulis : Erina Mawaddah (L1B022008)

Referensi:

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). (2024). Laporan Survei Penggunaan Internet 2023. https://www.apjii.or.id/content/32/1155/APJII-Survei-Internet-Indonesia-2023.html (Diakses pada 22 Juni 2025).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2023). Data dan Informasi Kesehatan Mental. https://p2ptm.kemkes.go.id/artikel-sehat/kenali-gejala-depresi-pada-remaja-dan-cara-mengatasinya (Diakses pada 22 Juni 2025).

Liu, M., Wu, M., Lu, Y., & Wei, R. (2020). Smartphone Addiction and Mental Health among College Students: A Cross-Lagged Panel Study. Journal of Affective Disorders, 277, 362-368. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S016503272031757X (Diakses pada 22 Juni 2025).

World Health Organization (WHO). (2019). Gaming disorder. https://www.who.int/news-room/questions-and-answers/item/gaming-disorder (Diakses pada 22 Juni 2025).





Comments

Popular posts from this blog

Kuliah atau Kerja? Menimbang Prioritas Anak Muda Masa Kini

Keadilan Itu Ada, Tapi Tidak Untuk Semua

Komunikasi dalam Sunyi: Strategi Komunikasi Orang Tua Dalam Membangun Dunia Anak Autis