Darurat Sampah Nasional: Ketika Bumi Tak Lagi Mampu Menampung

 

Indonesia, Negara kepulauan yang 90% wilayahnya dikelilingi lautan. Namun, Indonesia sedang tidak baik-baik saja, Negara kita sedang berada dalam keadaan darurat yang sering kali kita anggap sepele dan tidak memiliki dampak yang signifikan. Setiap harinya, jutaan ton sampah dihasilkan dari aktivitas rumah tangga, pasar, industri, hingga perkantoran, namun hanya sebagian kecil yang berhasil dikelola dengan baik. Selebihnya sampah-sampah yang ada terus menumpuk, mencemari tanah, udara, dan lautan. Data terbaru dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa timbulan sampah domestik Indonesia pada tahun 2024 mencapai 34.214.607 ton, dan mirisnya, hanya 59,74% dari jumlah tersebut yang berhasil dikelola, masih ada sekitar 13,7 juta ton yang dibiarkan begitu saja tanpa penanganan. Jumlah data ini memberikan kita gambaran betapa buruknya pengelolaan sampah saat ini.

 

Ketidakmampuan sistem pengelolaan sampah dalam skala nasional bukan hanya masalah teknis, tapi juga muncul karena kebijakan, mentalitas, dan kurangnya kesadaran dari masyarakat. Di berbagai kota besar, tumpukan sampah sering menumpuk bahkan membentuk gunung sampah di tepi sungai dan pinggiran kota. Bukan hanya itu, salah satu akibat yang ditimbulkan seperti banjir tidak kalah utamanya dari pengelolaan sampah yang buruk. Banjir sudah menjadi makanan sehari hari bagi masyarakat yang daerahnya tidak mampu mengelola sampah, hal ini juga menyebabkan pencemaran udara akibat pembakaran sampah liar, hingga potensi ledakan di TPA karena gas metana semakin mengintai masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah pembuangan akhir.

 

Persoalan pengelolaan sampah semakin sulit ditangani, ketika kita mengetahui bahwa sampah di Indonesia bukan hanya berasal dari dalam negeri. Benar adanya, Indonesia masih menjadi salah satu negara tujuan impor sampah dari luar negeri. Laporan mendalam dari Mongabay Indonesia pada April 2025 mengungkap bahwa pada tahun 2024 saja, Indonesia masih menerima 262.903 ton limbah impor, terdiri dari plastik dan kertas bekas yang sebagian besar berasal dari Belanda (107.500 ton), Jerman (59.100 ton), dan Belgia (28.800 ton). Meski semestinya limbah ini diolah di industri daur ulang, kenyataannya sebagian besar justru tidak


sesuai spesifikasi, tidak bisa didaur ulang, dan akhirnya dibuang ke TPA atau bahkan ke sungai dan lahan terbuka. Situasi ini sungguh ironis, mengapa tidak? negara yang belum mampu mengelola sampah sendiri malah menerima kiriman sampah dari luar. Hal ini juga menjadi penyebab Indonesia terus menerus mengalami banjir yang tak kunjung usai,. Walaupun sudah dibuatkan waduk untuk menampung air, namun hal ini tidak memiliki manfaat untuk mengatasi banjir yang melanda.

 

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pun memberikan peringatan keras dalam laporannya yang terbit awal 2025. Jumlah sampah yang tidak tertangani selama bertahun-tahun diperkirakan telah mencapai lebih dari 113 juta ton. Ini bukan hanya angka, tapi simbol kegagalan pada kebijakan pemerintah yang selama ini hanya menjadi janji palsu agar membuat masyarakat sedikit merasa tenang, tanpa solusi jangka panjang yang menyeluruh. UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah hingga kini belum diperbarui meskipun zaman sudah berubah drastis. Belum ada penerapan tegas terhadap Extended Producer Responsibility (EPR) kebijakan yang semestinya memaksa produsen bertanggung jawab atas kemasan plastik produk mereka. Alhasil, limbah sachet, botol plastik, dan kemasan sekali pakai terus membanjiri lingkungan tanpa ada pengelolaan berkelanjutan dari perusahaan yang menghasilkan sampah tersebut.

 

Kita juga harus melihat bagaimana anggaran untuk sektor pengelolaan sampah di sebagian besar pemerintah daerah hanya dialokasikan di bawah 1% dari total APBD. Ini membuat sistem pengelolaan sampah, termasuk kendaraan pengangkut dan fasilitas daur ulang, tidak berkembang dan kerap mangkrak. Beberapa proyek besar seperti Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang sempat digadang-gadang sebagai solusi jangka panjang, justru menuai banyak kritik karena dinilai mahal, tidak efisien, dan memberikan dampak lingkungan baru, seperti potensi polusi udara dari proses pembakaran.

 

Namun, tidak semua berita adalah kabar buruk. Sejumlah kota dan komunitas mulai bergerak dengan caranya sendiri. Di Surabaya, misalnya, konsep bank sampah dan kampanye "Zero Waste to Landfill" perlahan-lahan menunjukkan hasil positif. Warga dilatih memilah sampah organik dan anorganik, bahkan mendapatkan insentif berupa tabungan dan sembako dari hasil menabung sampah. Bukan hanya itu di daerah Banyumas, teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) mulai


digunakan untuk mengolah sampah menjadi bahan bakar alternatif bagi pabrik semen, menggantikan batu bara.

 

Program RDF di Banyumas menjadi bukti bahwa pengelolaan sampah berbasis energi bisa diterapkan jika ada kemauan politik dan dukungan anggaran. Pemerintah Kabupaten Banyumas bahkan mengklaim telah mengurangi sampah yang dibuang ke TPA sebesar 60% sejak RDF mulai dioperasikan secara optimal. Inisiatif-inisiatif seperti ini seharusnya menjadi model percontohan nasional, bukan sekadar dibiarkan berjalan sendiri-sendiri.

 

Hal utama yang harus dilakukan adalah, revisi UU Pengelolaan Sampah, dengan memasukkan pasal-pasal yang mewajibkan EPR, menetapkan sanksi berat bagi produsen atau perusahaan yang nakal, serta mendorong sistem ekonomi berkelanjutan. Kedua, pemerintah harus meningkatkan alokasi anggaran dan insentif bagi program inovasi pengelolaan sampah berbasis teknologi dan komunitas. Ketiga, pendidikan terkait lingkungan harus dimasukkan dalam kurikulum sejak tingkat dasar, agar kesadaran tentang pentingnya menjaga kebersihan dan memilah sampah tumbuh sejak dini.

 

Media juga memiliki peran penting bagi pengurangan limbah-limbah sampah yang menumpuk. Jangan hanya menyoroti isu sampah saat ada banjir atau peringatan Hari Lingkungan Hidup. Isu ini harus diawasi secara berkelanjutan oleh jurnalis melalui pendekatan mendalam dan pemberian solusi untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Alih-alih hanya mengulang narasi “masyarakat kurang sadar”, media harus mendorong transparansi anggaran pada pengelolaan sampah, menelusuri siapa saja yang sebenarnya diuntungkan dari impor limbah, serta menyuarakan kebijakan yang tidak berpihak pada siapapun.

 

Bukan hanya itu, kita semua memiliki peran penting dalam menjaga ekosistem lingkungan dari bahayanya sampah yang tidak bisa dikelola. Pemerintah wajib memperbaiki sistem dalam pemeliharaan sampah, agar kerugian yang terjadi bisa berkurang dan masyarakat sadar akan pentingnya daur ulang serta membuang sampah pada tempatnya. Selain itu media wajib memberikan fakta dari kejadian yang ditimbulkan akibat sampah yang menumpuk, dengan cara transparansi dan tidak memihak pada siapapun selain masyarakat. Produsen wajib bertanggung jawab atas sampah dan limbah yang dihasilkan dengan cara mendaur ulang sampah


tersebut. Namun, kita sebagai warga juga wajib berubah dan memikirkan masa depan anak cucu kita nantinya, agar tidak mengalami atau menerima dampak dari apa yang telah kita lakukan. Jangan tunggu sampah mengubur dan menghancurkan masa depan kita. Mulailah dari hal sederhana dengan cara mengurangi sampah plastik sekali pakai, pilah sampah di rumah, dukung kebijakan lingkungan yang progresif. Jika tidak sekarang, kapan lagi, jika bukan kita siapa lagi. Sebab, sampah tidak akan menunggu kita sadar.


Penulis : Nurwulan Silviana (L1B022077) 

Comments

Popular posts from this blog

Kuliah atau Kerja? Menimbang Prioritas Anak Muda Masa Kini

Keadilan Itu Ada, Tapi Tidak Untuk Semua

Komunikasi dalam Sunyi: Strategi Komunikasi Orang Tua Dalam Membangun Dunia Anak Autis