Fast Fashion, Bencana Lingkungan yang Masih Kita Biarkan

 

Di setiap minggunya, koleksi pakaian baru banyak bermunculan di etalase toko dan iklan di media sosial. Harganya murah, desainnya mengikuti trend-trend terbaru, dan tersedia dalam jumlah yang besar.

Tidak heran jika banyak sekali orang tergoda, hingga membeli berkali-kali hanya untuk mengikuti gaya. Namun, di balik pakaian yang kita beli dengan senyum puas ini. Banyak tersimpan jejak polusi air, limbah tekstil, hingga eksploitasi tenaga kerja. Pertanyaannya: hingga sampai kapan kita akan terus menerus membiarkan fast fashion merusak lingkungan tanpa ada pertanggungjawaban?

Apa itu fast fashion? Fast fashion merupakan salah satu sistem produksi dan juga distribusi pakaian dalam skala yang besar, yang bertujuan untuk menyediakan tren terbaru dengan harga semurah mungkin dalam waktu secepat mungkin. Menurut Zero Waste Indonesia, fast fashion merujuk pada konsep di industri tekstil yang menghadirkan beragam desain dengan cepat menggunakan materian atau bahan baku yang yang berkualitas rendah, sehingga tidak tahan lama untuk digunakan.

Merek internasional seperti Zara, H&M, Forever 21, serta yang terbaru SHEIN memproduksi ribuan item setiap minggunya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan selera konsumen yang berlangsung cepat (Good On You, 2024). Jenis model bisnis ini menyebabkan terjadinya produksi berlebihan dan konsumsi yang sangat tinggi. Jika sebelumnya satu musim mode berlangsung selama tiga bulan, saat ini satu "musim" hanya dapat bertahan sekitar satu minggu. Ini menyebabkan pakaian dilihat sebagai barang yang hanya dipakai sementara, bukan investasi jangka panjang, melainkan sekadar tren yang cepat berlalu.

Dampak Bagi Lingkungan

1.         Limbah tekstil menumpuk

Menurut Earth ORG, industri fast fashion menghasilkan sekitar 92 juta ton limbah tekstil setiap tahun (EARTH ORG, 2023). Banyak pakaian yang bahkan dibuang sebelum digunakan. Di negara-negara berkembang, gunungan pakaian bekas impor menumpuk di tempat pembuangan akhir, sehingga mencemari tanah dan mengganggu ekosistem lokal.

2.         Polusi air

Pewarna sintetis, wewangian, dan bahan kimia yang digunakan dalam proses ppembuatan fashion merupakan penyumbang utama pencemaran air. Sungai-sungai di Bangladesh, India, khususnya dikawasan industry besar, serta negara penghasil tekstil lainnya dipenuhi oleh limbah pabrik. Pewarna sintetis yang tidak diolah sebagaimana mestinya, mencemari air tanah dan membahayakan kesehatan warga sekitar. Di Bangladesh, bau busuk yang tercium di Genda Government Primary School, sering kali mengganggu konsentrasi para guru dan juga siswa (The New York Times, 2013).

3.         Emisi karbon

Industri fashion menyumbang sekitar 10% dari total emisi karbon global, lebih besar dari gabungan industri penerbangan dan pelayaran (EARTH ORG, 2022). Proses ini mulai dari produksi serat, transportasi lintas negara, hingga distribusi massal yang menyebabkan jejak karbon yang sangat besar.

Siapa yang paling terdampak? Mereka yang bekerja di balik layar industry sering kali adalah buruh dengan upah yang rendal di negara-negara Global South. Mereka bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi, upah minimum yang tak layak, hingga risiko kesehatan yang tinggi akibat paparan bahan kimia. Di sisi lain, negara tersebut juga menjadi tempat pembuangan sampah pakaian dunia. Sedangkan, konsumen dari negara maju terus menikmati pakaian yang murah tanoa memikirkan jejak yang ditinggalkan. Siklus konsumsi ini menjadi roda setan yang sulit dipatahkan jika tidak ada kesadaran bersama.

Konsumen Juga Bertanggung Jawab dan Saatnya Kita Bertindak

Meski banyak kritik diarahkan ke perusahaan, sebenarnya konsumen juga memiliki tanggung jawab dalam hal ini. Kebiasaan belanja secara impulsive karena diskon atau trend di sosial media, menciptakan tekanan besar bagi brand besar untuk terus memproduksi. Maka penting untuk kita menyadari bahwa kita bukan hanya “korban’ dari industry ini, tetpi aktor di dalamnya.

Kita perlu beralih ke pola kunsumsi yang lebih bertanggung jawab, dengan cara:

1.         Menuangkan prinsip “membeli sedikit, tapi berkualitas”.

2.         Mendukung brand lokal.

3.         Membiasakan diri untuk memperbaiki, bukan langsung membuang

4.         Mengedukasi diri dan orang sekitar tentang dampak fast fashion.

Kita mungkin tidak bisa mengubah sistem dalam semalam, tetapi kita bisa mulai dari yang terkecil, yaitu kesadaran diri sendiri. Pilihan yang kecil ini membuat kita membentuk masa depan yang lebih sehat untuk bumi. Jangan sampai kita terus membiarkan bencana ini berjalan hanya demi sebuah trend musiman.

Penulis: Hernawati (L1B022009)

Refrensi:

Good On You. (2024). What is fast fashion? Diakses pada 20 juni 2025, dari https://goodonyou.eco/what-is-fast-fashion/
 Earth.org. (2023). Statistics about fast fashion waste. Diakses pada 20 juni 2025,  dari https://earth.org/statistics-about-fast-fashion-waste/
 Zero Waste Indonesia. (2023). Mengenal fast fashion dan dampak yang ditimbulkan. Diakses pada 20 juni 2025, dari https://zerowaste.id/zero-waste-lifestyle/mengenal-fast-fashion-dan-dampak-yang-ditimbulkan/
 Manik, J. A. (2013). Bangladesh pollution, told in colors and smells. The New York Times. Diakses pada 20 juni 2025, dari https://www.nytimes.com/2013/07/15/world/asia/bangladesh-pollution-told-in-colors-and-smells.html

 

Comments

Popular posts from this blog

Kuliah atau Kerja? Menimbang Prioritas Anak Muda Masa Kini

Keadilan Itu Ada, Tapi Tidak Untuk Semua

Komunikasi dalam Sunyi: Strategi Komunikasi Orang Tua Dalam Membangun Dunia Anak Autis