Hilirisasi Ugal-ugalan: Kemakmuran Ekonomi dan Kerusakan Lingkungan di Surga Terakhir Bumi
Gemuruh industrialisasi nikel yang digadang-gadang sebagai
fokus perekonomian pemerintah, Raja
Ampat kini dihadapkan pada ancaman serius. Konflik kepentingan antara ambisi
hilirisasi nikel nasional dan desakan perlindungan lingkungan, terutama dari
praktik tambang yang merusak. Polemik tambang nikel di Raja Ampat mencuat kuat
setelah laporan investigasi Greenpeace Indonesia yang dirilis baru-baru ini.
Laporan tersebut membeberkan temuan-temuan krusial yang menyoroti ancaman
terhadap ekosistem Raja Ampat, yang notabene telah diakui sebagai Geopark
Global UNESCO. Pada tahun 2023 Greenpeace menemukan setidaknya 16 Izin Usaha
Pertambangan (IUP) nikel pernah diterbitkan di Kepulauan Raja Ampat. Dari
jumlah tersebut, 13 IUP berada dalam kawasan konservasi dan 12 IUP lainnya
tumpang tindih dengan area Geopark Global UNESCO. Greenpeace mengidentifikasi 5
izin masih aktif, dengan 2 izin yang sebelumnya dibatalkan/kedaluwarsa justru
diterbitkan kembali pada tahun 2025. Yang lebih mengkhawatirkan, 3 izin lain
yang sempat dibatalkan atau kedaluwarsa kini aktif kembali setelah perusahaan
memenangkan tuntutan di pengadilan. Ini menunjukkan kerentanan hukum yang
memungkinkan izin tambang yang merusak hidup kembali. Selain itu, empat dari
izin yang masih berlaku ini berlokasi di pulau-pulau kecil, seperti Pulau Gag
yang hanya seluas 77 km persegi. Hal ini secara jelas melanggar Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil (Pasal 35 huruf k) yang melarang penambangan di
pulau-pulau kecil. Laporan tersebut juga mendokumentasikan kerusakan lingkungan
yang nyata, termasuk deforestasi, pencemaran limbah ke laut, dan kehancuran
terumbu karang. Greenpeace menyoroti bagaimana air laut di pesisir Pulau Kawei
mulai berubah warna menjadi kecoklatan akibat sedimentasi dari tambang.
Berbagai studi juga menunjukkan bahwa penambangan nikel, terutama dengan metode
terbuka, menyebabkan deforestasi masif, erosi tanah, sedimentasi perairan laut
yang merusak terumbu karang dan lamun, serta pencemaran logam berat di air dan
tanah. Di sisi lain, pemerintah, melalui Menteri Bahlil Lahadalia, menyatakan
bahwa kritik terhadap hilirisasi nikel, termasuk isu lingkungan, merupakan
intervensi asing yang berupaya menggagalkan program strategis nasional. (Sumber: Bahlil Duga Ada Campur Tangan Asing
dalam Polemik Tambang Raja Ampat, CNN Indonesia).
Situasi Raja Ampat adalah cerminan dari dilema besar yang
dihadapi Indonesia, bagaimana menyeimbangkan ambisi pembangunan ekonomi dengan
perlindungan lingkungan yang esensial. Dari satu sisi, pemerintah berargumen
bahwa hilirisasi nikel adalah kunci kemandirian ekonomi, membuka lapangan
kerja, dan meningkatkan nilai tambah komoditas. Narasi "intervensi
asing" yang dilontarkan pejabat tinggi mencerminkan pandangan bahwa setiap
kritik terhadap proyek ini dilihat sebagai sabotase terhadap agenda nasional.
Ini adalah bentuk defensif yang berusaha mengalihkan fokus dari substansi
masalah lingkungan ke isu geopolitik. Namun, laporan Greenpeace dan bukti-bukti
lapangan menawarkan narasi yang berbeda. Raja Ampat bukanlah sembarang lokasi;
ia adalah salah satu "jantung" keanekaragaman hayati laut dunia,
surga bagi penyelam, dan sumber mata pencarian masyarakat lokal yang bergantung
pada ekowisata dan perikanan. Memberikan izin tambang di kawasan konservasi dan
geopark UNESCO bukan hanya inkonsisten dengan status perlindungannya, tetapi
juga berpotensi menyebabkan kerusakan ireversibel. Lebih jauh, klaim pemerintah
tentang "nikel kotor" sebagai propaganda asing perlu diuji. Jika
memang praktik penambangan tidak memenuhi standar lingkungan, pengabaian dampak
tersebut justru akan merusak reputasi Indonesia di mata internasional dan
berpotensi memicu boikot produk yang menggunakan nikel dari praktik tidak
bertanggung jawab.
Penting bagi kita untuk memikirkan dampak jangka panjang
dari eksploitasi sumber daya alam dan menolak segala bentuk program hilirisasi
yang merusak alam. Jangan biarkan ambisi hilirisasi ugal-ugalan mengorbankan
keindahan yang tak ternilai dan masa depan generasi mendatang.
Penulis : Lalu Diandra Surya Wardhana (L1B022057)
REFERENSI:
https://www.greenpeace.org/indonesia/laporan/63114/surga-yang-hilang/surga_yang_hilang_raja_ampat_laporan.pdf
Comments
Post a Comment