Hutan Bima yang Terbabat Jagung, di Atas Derita, Bencana, dan Kemiskinan.


Siapa yang menyangka jagung komoditas yang menjanjikan keuntungan ekonomi bagi petani dan tampak seperti solusi dibalik kemiskinan masyarakat, dibalik hamparan hijau tanaman jagung, justru menjadi biang bencana ekologis di Bima, Nusa Tenggara Barat. Tersimpan derita dari bencana dan lingkaran kemiskinan yang memaksa. Alih fungsi hutan menjadi ladang jagung telah menjadi pemicu utama banjir besar, kekeringan, dan kerusakan lingkungan yang kian tak terbendung.

Bima di Ambang Krisis Lingkungan

Bima yang dulunya merupakan wilayah dengan tutupan hutan yang cukup luas lalu dikenal sebagai daerah agraris, kini dikenal sebagai wilayah dengan laju kerusakan hutan tercepat di Nusa Tenggara Barat. Sekitar 30.000 hektare lahan perbukitan di Bima telah beralih fungsi menjadi ladang jagung. Ironisnya, perubahan itu terjadi bukan semata karena ketidaktahuan, melainkan atas nama pembangunan dan ekonomi, dua kata yang sayangnya sering dipakai untuk membenarkan eksploitasi lingkungan.

Alih fungsi lahan ini menjadi akar dari banjir bandang yang menerjang Kabupaten Bima dan Kota Bima. Salah satu kejadian paling tragis terjadi di Kecamatan Wera dan Ambalawi, di mana delapan orang meninggal dunia akibat banjir besar yang menyapu permukiman.

Menurut Walhi NTB, sekitar 75% dari 250.000 hektare kawasan hutan di Bima telah rusak, sebagian besar dijadikan ladang jagung. Setiap tahun, sekitar 200 hektare hutan NTB hilang, dengan kerusakan terbesar terjadi di Kabupaten Bima—57.599 hektare hutan kritis atau 40,47% dari total lahan kritis di NTB.

Jagung, Komoditas atau Kutukan?

Alih fungsi ini didorong oleh dua hal utama tingginya nilai jual jagung dan program pemerintah daerah seperti PIJAR (Sapi, Jagung, Rumput Laut). Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bima mengakui bahwa banyak petani padi beralih ke jagung karena harga jagung lebih tinggi dibandingkan gabah, apalagi saat kemarau panjang akibat El NiƱo, Jika tren ini terus berlanjut, dalam 5–10 tahun ke depan, Bima bisa saja menjadi wilayah importir beras, kehilangan daya dukung lahannya sendiri.

Jagung yang dianggap sebagai penyelamat ekonomi petani, karena pola pertanian yang ekstensif dan tanpa memperhatikan dampak terhadap lingkungan telah mengkibatkan dampak yang serius, daerah aliran sungai mulai kritis, kekeringan melanda, debit air menurun, dan bencana menunggu waktu untuk dating.

Sungguh ironis jagung yang dimaksudkan menjadi komoditas kini mulai berubah menjadi kutukan, jagung mulai membabat habis hutan. Masalahnya, tanaman jagung tidak memiliki sistem perakaran kuat untuk menahan erosi dan limpasan air. Saat hujan deras turun, terutama di kawasan perbukitan yang gundul, air langsung mengalir ke bawah tanpa sempat terserap tanah, memicu banjir di wilayah topografi rendah seperti Kota Bima.

Topografi Kota Bima berada di ketinggian 0–1.000 mdpl, sementara di sebelah timur terdapat Kecamatan Wawo yang lebih tinggi (1.500–2.000 mdpl). Ketika hujan turun di Wawo, air dengan cepat mengalir menuju Kota Bima yang tidak lagi memiliki hutan sebagai daerah resapan.

Lingkaran Setan Kemiskinan dan Kerusakan

Tidak bisa dipungkiri bahwa alih fungsi lahan berdampak ekonomi positif bagi masyarakat, berkat jagung masyarakat bisa menghidupi keluarganya, berkat jagung juga anak-anak petani bisa sekolah. Namun, keuntungan jangka pendek itu telah menjadi bumerang ekologis dan sosial. Rumah, lahan pertanian, dan tambak warga terendam air. Bahkan ditahun 2023, 39 desa di 11 kecamatan mengalami krisis air bersih karena kawasan tangkapan air telah rusak.

Dampak positif yang ditawarkan dari hasil alih fungsi hutan justru membawa derita dan bencana. Namun, dibalik dampak positif tersebut tersiimpan sebuah ironi alih fungsi hutan tersebut justru boomerang bagi para petani, karena rusaknya lingkungan dan perubahan iklim, membuat petani jagung yang bergantung pada musim merana, hasilnya hasil panen tidak sesuai dengan biaya produksi, banyak petani yang kemudian terjebak dalam utang.

Bencana yang terus berulang ini menyiratkan matinya otoritas negara. Banyak regulasi dan surat edaran telah dibuat untuk melarang perambahan liar, tapi minimnya penegakan hukum dan pengawasan membuat pelanggaran berlangsung masif.

Menurut catatan Walhi NTB, kerusakan hutan di NTB telah mencapai 60% dari total kawasan hutan 1.071.722 hektare, dan ini bukan sekadar akibat tekanan ekonomi, tapi juga karena nilai-nilai kearifan lokal Dou Mbojo seperti “Maja Labo Dahu” dan “Ngaha Aina Ngoho” mulai pudar. Tradisi yang dulunya menjaga hubungan harmonis dengan alam kini tergantikan oleh semangat produksi tanpa kendali.

Refleksi dan Seruan Perubahan

Kerusakan lingkungan di Bima bukan hanya masalah lokal, tapi simbol kegagalan kolektif, negara gagal menegakkan hukum, masyarakat gagal menjaga alam, dan pembangunan gagal mengedepankan keberlanjutan. 

Langkah yang harus segera diambil bukan lagi sekadar penyuluhan, tapi restrukturisasi kebijakan pertanian dan kehutanan, penegakan hukum yang tegas terhadap pembabatan liar, dan penyediaan alternatif ekonomi yang lebih berkelanjutan. Selain itu, pendidikan lingkungan berbasis kearifan lokal perlu dihidupkan kembali untuk mengakar di masyarakat.

Pemerintah daerah dan pusat perlu bersinergi dalam menciptakan sistem pertanian yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga ramah terhadap lingkungan. Tidak ada yang salah dengan bertani jagung. Tapi jika menanam jagung berarti menanam bencana, sudah saatnya kita bertanya untuk siapa pertanian ini dijalankan?

Bima tidak sedang kekurangan jagung, tapi sedang kekurangan hutan. Jika kita terus mengorbankan hutan demi satu komoditas, maka yang akan kita panen bukanlah hasil bumi, tapi banjir, kekeringan, dan kehilangan masa depan. Kini, saatnya kembali ke akal sehat dan hati nurani. Hentikan alih fungsi liar sebelum Bima benar-benar tenggelam dalam derita yang ditanam oleh tangan kita sendiri.

Penulis: Naufal Mumtaz (L1B022071)

Sumber: 

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://www.koranstabilitas.com/2021/09/tak-mampu-cegah-alih-fungsi-lahan.html&ved=2ahUKEwjSo4DRzIOOAxUTRmcHHZHhIUo4FBAWegQIMBAB&usg=AOvVaw3BuQ7n1wH3xQpSiKZulYPs 

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://www.detik.com/bali/nusra/d-7764242/walhi-sebut-alih-fungsi-hutan-jadi-kebun-jagung-biang-kerok-banjir-di-bima&ved=2ahUKEwjrz-7CzIOOAxWhe2wGHc3BH9wQFnoECB4QAQ&sqi=2&usg=AOvVaw1zfO-eSm7YiMirJbGuFm6g

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://www.kompas.id/baca/nusantara/2021/04/09/alih-fungsi-hutan-jadi-ladang-jagung-turut-jadi-penyebab-banjir-bandang-di-bima&ved=2ahUKEwiDj-XLzIOOAxUee2wGHZYMBPI4ChAWegQIPBAB&usg=AOvVaw0A75v2dYOgQ-0kv21XdI8D

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://suarantb.com/2025/01/20/alih-fungsi-lahan-jadi-penyebab/&ved=2ahUKEwiDj-XLzIOOAxUee2wGHZYMBPI4ChAWegQINxAB&usg=AOvVaw2NSrZGQHKYqfASFmkX_3vl

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://www.fajarmediabima.com/2022/10/reboisasi-hutan-bima-dengan-pohon.html&ved=2ahUKEwjSo4DRzIOOAxUTRmcHHZHhIUo4FBAWegQINBAB&usg=AOvVaw2fxFxFjCppxhvdcEfFR8_n

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://www.kompas.id/label/alih-fungsi-hutan-menjadi-ladang-jagung-di-bima/&ved=2ahUKEwjSo4DRzIOOAxUTRmcHHZHhIUo4FBAWegQILhAB&usg=AOvVaw3DRfl_-xS4M2f-_5VTTGSz 

 


Comments

Popular posts from this blog

Kuliah atau Kerja? Menimbang Prioritas Anak Muda Masa Kini

Keadilan Itu Ada, Tapi Tidak Untuk Semua

Komunikasi dalam Sunyi: Strategi Komunikasi Orang Tua Dalam Membangun Dunia Anak Autis