Menilik Potret Perempuan dalam Bingkai Sinema

 

Industri hiburan kerap menyimpan pesan tersembunyi dalam keseruan yang dipertontonkan. Film, sebagai salah satu alternatif hiburan populer, terbukti memainkan peran dalam membangun realitas sosial. Cara film membingkai karakter tokoh, alur cerita, hingga visualisasi secara tidak langsung mencerminkan ideologi yang dianut para kreator dan direproduksi oleh masyarakat. Salah satu permasalahan yang kerap menjadi perhatian adalah cara film menggambarkan peran perempuan dalam kehidupan sosial.

Perempuan dalam film kerap melestarikan beberapabentuk ketidakadilan gender meliputi subordinasi, marginalisasi, stereotip, serta beban kerja ganda.

·       Subordinasi memposisikan perempuan lebih rendah daripada laki-laki sehingga menormalisasi dominasi laki-laki terhadap perempuan.

·       Marginalisasi berkaitan dengan pengabaian hak-hak perempuan, salah satunya adalah hak untuk mengejar mimpi.

·       Stereotip pada perempuan berkaitan dengan anggapan masyarakat bahwa perempuan adalah sosok yang lemah lembut dan emosional sehingga tidak cocok mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin.

·       Beban kerja ganda menunjukkan bahwa meskipun perempuan mampu mengejar karir, tanggung jawab terhadap rumah tangga tetap menjadi pekerjaan utama yang harus ia lakukan, berbeda dengan laki-laki yang dapat memilih untuk fokus mengejar karir.

Sebagai bahan kajian, terdapat beberapa film  yang menarik untuk dibahas, yaitu The Devil Wears Prada dan The Intern. Kedua film tersebut dimainkan oleh aktris ternama, Anne Hathaway, yang telah memenangkan sejumlah penghargaan seperti Academy Award dan Golden Globe Award. Kemiripan konflik dari kedua film membuat keduanya patut dibandingkan untuk melihat perbedaan resolusi yang ditawarkan dari masing-masing film.

Sinopsis Film

The Devil Wears Prada adalah film tahun 2006 yang bercerita tentang Andrea, asisten editor majalah fashion terkenal dengan jadwal kerja yang sangat padat. Tekanan kerja  yang ia rasakan begitu besar, terlebih karena Andrea sendiri tidak begitu paham tentang fashion pada awalnya. Namun, berkat tekad yang kuat, ia mampu melewati tantangan yang ada dan menunjukkan perkembangan karir yang signifikan.  

Di sisi lain, kekasih dan orang-orang terdekat Andrea membenci pekerjaan yang ia lakukan. Kekasihnya bahkan memutuskan hubungan mereka karena tidak tahan melihat Andrea yang lebih memprioritaskan karir. Pada akhir film, Andrea pun memilih melangkah mundur dari kesuksesan karir demi memperbaiki hubungan dengan sang kekasih.

Film The Intern juga mengangkat kisah yang tidak jauh berbeda. Jules, yang diperankan oleh Anne Hathaway, adalah seorang CEO dari perusahaan start up e-commerce yang bergerak dalam bidang fashion. Sebagai seorang CEO dan seorang ibu, kehidupan Jules tentu sangatlah sibuk.

Suatu hari, Matt, suami Jules, ketahuan berselingkuh. Mengetahui fakta ini, Jules menyalahkan diri sendiri akibat terlalu mementingkan pekerjaan. Ia mulai mempertimbangkan untuk menyerahkan posisinya sebagai CEO kepada orang lain agar bisa menjadi ibu sekaligus istri yang lebih baik.

Akan tetapi pada akhirnya, Matt bersikeras agar Jules tidak turun dari karir yang sudah ia perjuangkan. Matt menekankan bahwa Jules harus mempertahankan posisinya karena Matt tahu: Jules mampu menjadi seorang CEO! Jules Ostin pun tetap memimpin perusahaan yang telah ia bangun dari awal itu.

Perbandingan Stereotip Gender

Meski mengangkat permasalahan yang serupa, namun resolusi yang diberikan kedua film jauh berbeda. Andrea melepaskan karirnya yang melesat tinggi sementara Jules mempertahankan kepemimpinannya di perusahaan. The Devil Wears Prada menekankan pada nilai-nilai tradisional peran gender sementara The Intern menyadarkan masyarakat tentang ekspektasi yang dibangun terhadap peran perempuan.

The Devil Wears Prada secara tidak langsung melestarikan stereotip terhadap perempuan untuk tidak mengejar karir tinggi, melainkan fokus pada keperluan rumah dan kebutuhan kekasih. Film ini seperti menormalisasi anggapan bahwa perempuan hanya bisa memilih salah satu di antara karir dan keluarga. Perempuan karir tidak bisa mempunyai keluarga yang harmonis, sementara seorang perempuan yang baik akan memilih untuk fokus mengurus rumah tangga.

Beberapa scene dalam film tersebut menunjukkan bagaimana sejumlah orang terdekat Andrea memberikan tanggapan negatif, mulai dari kekasih, sahabat, hingga keluarga terhadap karir yang tengah ia bangun. Kegigihan Andrea dalam bekerja justru menjadi momok yang kerap mereka permainkan secara tidak sopan. Kesulitan yang harus Andrea lalui menjadi masalah personal yang harus ia tanggung sendiri, sebab berbagi cerita tidak akan mendatangkan simpati, melainkan tekanan untuk melangkah mundur dari karir yang tengah ia perjuangkan.

Film ini menunjukkan betapa orang-orang terdekat justru menjadi orang pertama yang mencemooh dan mempermainkan ambisi perempuan dalam mengejar karir. Proses Andrea menjadi seorang profesional tidak dianggap sebagai kesuksesan, melainkan tangga turun menuju kegagalan.

Asumsi masyarakat sering kali membuat perempuan merasa gagal. Karir yang baik, penghargaan yang diperoleh, pencapaian yang diraih, semua tidak ada artinya bagi kelompok sosial patriarkis. Hubungan perempuan dengan keluarga, cara ia menyelesaikan pekerjaan domestik, serta kepuasan kekasih terhadap kehadirannya-lah yang menjadi penentu utama kesuksesan perempuan.

Sementara itu, The Intern menyajikan perspektif yang berbeda. Jules Ostin pada akhirnya tidak melepas jabatan CEO itu. Ia membatalkan opsi pergantian CEO dengan menyanggupi perubahan pada kekurangan dirinya. Scene ketika Matt berbicara, “Because if I’ve ever met anyone who doesn’t need a boss, it was you,”  kepada Jules menjadi tamparan keras bagi masyarakat yang sulit percaya bahwa perempuan mampu menjadi pemimpin yang baik.

Apakah Jules Ostin adalah pemimpin yang sempurna? Tentu tidak. Karirnya ada di ambang kejatuhan. Kesalahan manajemen waktu dan alur kerja perusahaan yang mulai berantakan menjadi poin utama yang menyerang dirinya. Namun, pada dasarnya setiap orang memiliki kekurangan. Bahkan laki-laki yang dianggap sebagai born to be leader memiliki kekurangan yang harus mereka perbaiki. Suatu kesalahan tidak dapat disematkan hanya pada gender tertentu karena itu adalah bentuk diskriminasi.

Jules dengan segala kekurangannya berusaha memperbaiki diri, tidak hanya untuk dirinya sendiri, melainkan demi kepentingan perusahaan. Di balik kekurangan itu, ia mempunyai ambisi dan ia mau berusaha meraih mimpi itu. Hal ini terbukti ketika ia mengingatkan seorang staff bahwa perusahaan telah berhasil meraih target yang dirancang untuk lima tahun hanya dalam sembilan bulan. Tentu pencapaian itu diraih karena kepemimpinan yang baik.

Harus diakui, film ini tidaklah sempurna. Banyak kekurangan yang dapat ditemukan, terutama terkait beberapa stereotip gender yang masih dilanggengkan. Meski begitu, setidaknya film ini mampu menghentikan resolusi toksik di mana perempuan harus merelakan karirnya demi seorang laki-laki.

Film dan Realitas Sosial

Untuk menilik potret perempuan dalam bingkai sinema, maka proses belakang layar menjadi elemen yang krusial untuk dikaji. Film ditentukan oleh proses produksi yang di dalamnya melibatkan banyak orang. Namun, di balik tim yang besar tersebut, kepemimpinan sutradara menentukan jalannya film sekaligus menjadi cerminan nilai-nilai sosial yang dianut masyarakat.

The Devil Wears Prada disutradarai oleh David Finerman, seorang laki-laki. Sementara The Intern disutradarai oleh Nancy Meyers, seorang perempuan. Hal ini memperjelas alasan terciptanya alur cerita dari masing-masing film. Sebagai seorang laki-laki, tuntutan sosial terhadap perempuan untuk fokus dengan rumah tangga nampak bukan masalah besar. Sementara itu, dari sisi perempuan, tuntutan ini adalah halangan besar. Hal ini dirasakan langsung oleh Nancy Meyers.

Sebagai sutradara perempuan, upayanya dalam industri film harus menerjang tanjakan terjal. Kapabilitasnya diragukan karena stereotip gender perempuan yang melekat pada dirinya. Mayoritas orang-orang di sekitarnya tidak menyukai perempuan menjadi pemimpin atau bersifat bossy.

Meski begitu, ia tetap bertahan dan menghasilkan karya luar biasa. Salah satunya adalah The Intern yang berhasil meraup keuntungan besar, bahkan mencapai lima kali lipat biaya produksi.

Film adalah cerminan dari realitas sosial yang berkembang di masyarakat. Penayangan film mampu mereproduksi nilai-nilai sosial dan melestarikannya kepada khalayak luas. Kehadiran film-film yang mendobrak standar sosial menjadi pahlawan di tengah diskriminasi terhadap perempuan dalam berbagai sektor. Peran film dalam menginspirasi menjadi salah satu peran utama di luar esensinya sebagai media hiburan.

 

Penulis : Elya Trainy Ardaelifa (L1B022045)

Referensi

Rifqi, M. and Prastiwi, Y. (2024). Gender Stereotype Portrayal on Hardworking Women In ‘The Intern’ Movie Director’s Perspective. Language Circle: Journal of Language and Literature, [online] 18(2), pp.342–348. doi:https://doi.org/10.15294/lc.v18i2.49363.

Risman, M. (2024). Representasi Perempuan Dalam Film (Analisis Isi Series Film Gadis Kretek). Skripsi: Universita Ahmad Dahlan.

Wikipedia (2019a). The Devil Wears Prada (film). [online] Wikipedia. Available at: https://en.wikipedia.org/wiki/The_Devil_Wears_Prada_(film).

Wikipedia (2019b). The Intern (2015 film). [online] Wikipedia. Available at: https://en.wikipedia.org/wiki/The_Intern_(2015_film).

 

 

 


Comments

Popular posts from this blog

Kuliah atau Kerja? Menimbang Prioritas Anak Muda Masa Kini

Keadilan Itu Ada, Tapi Tidak Untuk Semua

Komunikasi dalam Sunyi: Strategi Komunikasi Orang Tua Dalam Membangun Dunia Anak Autis