Raja Ampat Terancam: Kemaslahatan Siapa, Kerusakan untuk Siapa?

 

Raja Ampat dengan kekayaan bentang alam yang mempesona kini terancam oleh tambang nikel. Ironisnya ditengah krisis ekologis ini, pernyataan PBNU Ulil Abshar dalam acara Kompas TV justru memperkeruh suasana karena pandangannya mengenai permasalahan serius ini hanya dari sisi kemaslahatan dan tidak memperhitungkan sisi keberlanjutan alam dan ekosistem di Raja Ampat.

Raja Ampat, Papua Barat selama ini dikenal dengan kecantikan alam dan kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Namun kini ketenangan alam itu terusik sejak pemerintah daerah memberikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada beberapa perusahaan tambang untuk menambang nikel di Pulau Kawe, Pulau Gag, dan Pulau Manuran. 

Masalah tambang ini sudah menjadi sorotan nasional karena beredarnya informasi mengenai kerusakan alam di beberapa pulau tersebut. Beberapa dokumentasi yang disebarkan oleh Greenpeace Indonesia memperlihatkan terjadinya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir. Hal ini diduga terjadi karena penggundulan dan pengerukan tanah yang disebabkan oleh penambangan di raja ampat. Masalah ini kian menjadi sorotan setelah pertanyaan Ulil Abshar Abdalla, Ketua PBNU kepada Iqbal Damanik Juru Kampanye Hutan Greenpeace dalam program "Rosi" di Kompas TV pada 12 Juni 2025. 

"Kenapa anda begitu peduli untuk mengembalikan ke ekosistem awal." 

Pertanyaan tersebut memicu gelombang kritik di masyarakat terutama aktivis lingkungan, akademisi, hingga tokoh adat di Papua. Banyak yang menilai bahwa pertanyaan yang dilontarkan oleh ketua PBNU tersebut mengabaikan konteks ekologis dan realitas kerusakan yang terjadi. Ditambah lagi dengan analogi yang digunakan dinilai tidak apple to apple untuk dijadikan perbandingan bagi permasalahan ekologi ini di tengah isu global warming yang sudah menjadi perhatian dunia.

Mengutip dari Environment Institute, Mahawan Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia menjelaskan bahwa pulau kecil seperti Raja Ampat merupakan ekosistem yang sensitif. Sehingga aktivitas penambangan nikel akan berpotensi menimbulkan dampak yang lebih besar karena prosedur penambangan yang mengharuskan pembukaan lahan. Hilangnya hutan di pulau kecil tentu saja akan  mengancam keanekaragaman hayati termasuk hewan dan tumbuhan andemik. 

Mahawan juga menjelaskan bahwa pembukaan lahan juga berkaitan dengan pencemaran air. Saat hujan turun, air akan langsung jatuh ke permukaan lalu menyebabkan erosi dan sedimentasi atau pengendapan logam berat di dalam air. 

Pernyataan Ulil Abshar Abdalla kemudian dianggap memberi pembenaran moral dan agama bagi industri ekstraktif yang selama ini telah menimbulkan kerusakan ekologis dan sosial. Padahal, sebagai pemimpin ormas Islam terbesar di Indonesia, pernyataannya memiliki bobot etis dan politis yang besar. Sayangnya, justru digunakan untuk merelatifkan masalah serius ini.

Di tengah upaya global untuk menghentikan krisis iklim dan melindungi kawasan-kawasan berharga secara ekologis, justifikasi semacam ini sangat berbahaya. Terlebih jika datang dari tokoh-tokoh publik yang memiliki pengaruh besar terhadap opini masyarakat.

Perlu diingat bahwa tambang nikel di Raja Ampat bukan hanya persoalan lingkungan, tapi juga soal moral dan arah kebijakan bangsa. Ketika pemimpin agama, elit politik, dan pejabat negara gagal menunjukkan sikap tegas terhadap perusakan alam, maka yang terjadi adalah normalisasi eksploitasi dan pengkhianatan terhadap amanat konstitusi untuk melindungi lingkungan hidup.

Pernyataan Ulil Abshar, meski mungkin dimaksudkan moderat, justru membenarkan praktik tambang yang nyata-nyata merusak. Saatnya tokoh masyarakat dan agama menjadi bagian dari solusi, bukan justru memicu polemik yang menyamarkan krisis.

Kita, sebagai warga negara, harus terus mengingatkan bahwa keindahan Raja Ampat bukan milik investor, bukan milik elit, tapi milik seluruh umat manusia. Kerusakannya adalah luka bersama. Dan bila negara terus abai, sejarah akan mencatat siapa yang membela tanah air dan siapa yang membiarkannya dijual.

Penulis : Baiq Halifa Yudisthia Ningrum (L1B022006)

 

Referensi : 

Enviro. (2025, Juni 14). Tambang nikel Raja Ampat di pulau kecil, kerusakannya bisa lebih besar. https://www.enviro.or.id/2025/06/tambang-nikel-raja-ampat-di-pulau-kecil-kerusakannya-bisa-lebih-besar/

 

KompasTV. (2025, Juni 12). [FULL] Debat PBNU dan Aktivis soal Tambang Raja Ampat, ini Dampaknya  [Video]. YouTube. https://youtu.be/Mdnt29MOemc?si=9LK0GaQV-8GwqbU-



 


Comments

Popular posts from this blog

Kuliah atau Kerja? Menimbang Prioritas Anak Muda Masa Kini

Keadilan Itu Ada, Tapi Tidak Untuk Semua

Komunikasi dalam Sunyi: Strategi Komunikasi Orang Tua Dalam Membangun Dunia Anak Autis