Sanksi Sosial di Era Digital: Cancel Culture Menjadi Tren di Media Sosial

 

Cancel culture adalah tindakan tegas “membatalkan” yang dilakukan warga internet terhadap seseorang yang dianggap problematik. Biasanya cancel culture diterapkan kepada publik figur atau tokoh yang aktif di dunia maya karena dianggap melakukan kesalahan moral, sosial, menyimpang, atau mengarah ke politik seperti rasisme, pelecehan, penyebaran hoaks, mengutarakan pendapat yang dapat menimbulkan kontroversial, dan masih banyak faktor lainnya. “Gerakan cancel culture mulai popular sejak tagar #MeToo dan #BlackLivesMatter ramai di twitter yang menyuarakan mengenai keadilan terhadap korban pelecehan seksual dan HAM terhadap ras kulit hitam di Amerika Serikat.” Muharman, N., Pratama, M. Y. T., Rahmawati., Anisah, N., Sartika, M., Yanuar, D. (2022). Cancel culture biasanya terjadi dalam bentuk seruan boikot, hujatan massal di kolom komentar, unfollow, block, report, dan tekanan agar seseorang diberhentikan atau tidak diberi panggung lagi. 

“Mengapa Cancel Culture Menjadi Sebuah Tren di Media Sosial?”

Cancel culture bisa terjadi kepada siapa saja yang cukup populer di media sosial. Berikut beberapa alasan mengapa cancel culture bisa menjadi sebuah trend di media sosial:

  1. Viral dan Penyebaran Informasi yang Cepat

Platform media sosial yang terkenal seperti TikTok, X (Twitter), dan Instagram memungkinkan postingan atau video menjadi viral dalam hitungan menit. Ketika suatu konten dianggap salah atau menyinggung pihak tertentu, warganet bisa segera melakukan tindakan tekanan sosial secara massal.



2.              Kekuatan Warganet

Banyak netizen yang merasa punya kekuatan untuk menuntut, terutama kepada publik figur yang sebelumnya kebal dari kritik. Media sosial menciptakan rasa “demokratisasi moral” yang dimana siapa saja bisa ikut menilai, memberikan opini, dan menghukum.



3.              Algoritma Media Sosial yang Mendorong Emosi

Konten yang penuh emosi, amarah, atau kemarahan cenderung lebih cepat viral karena memancing reaksi penonton. Oleh karena itu cancel culture semakin cepat menyebar karena didorong oleh algoritma media sosial.



4.              Respons dari Industri dan Sponsor

Ketika mengetahui siapa yang sedang menjadi spotlight (tersorot) di media sosial, brand atau agensi sering mengambil langkah cepat untuk memutuskan bekerjasama begitu ada isu yang sedang viral. Hal ini bisa bersifat positif dan negatif. Jika orang tersebut terkenal dengan cara yang baik, maka respons netizen akan baik pula kalau orang tersebut diberikan sponsor, begitupun sebaliknya. Seringkali oknum yang viral telah membuat onar di media sosial hingga dikecam netizen, tidak jarang ada brand tertentu yang tetap memberikan sponsor meskipun akan dihujat oleh netizen.

 

Meskipun cancel culture disebut sebagai kontrol sosial yang positif, tren ini juga menuai banyak kritik. Sudah banyak kasus yang terjadi, korban cancel culture atau pembatalan ini dilakukan tanpa proses klarifikasi dari pemilik postingan asli, hanya berdasarkan cuplikan video, video yang dipotong, atau pernyataan yang diambil diluar konteks. 

Akibatnya, orang yang dicancel sering mengalami tekanan psikologis berat, kehilangan pekerjaan, hingga dijauhi secara sosial, bahkan banyak orang setelah mendapat hujatan terbukti tidak bersalah. Di sisi lain, terdapat kasus di mana tindakan cancel justru membungkam perbedaan pendapat, menjadikan media sosial sebagai ruang yang tidak aman untuk diskusi terbuka.

Salah satu contoh kasus cancel culture yang belum lama terjadi pada aktor Muhammad Abidzar Al-Ghifari yang akrab disapa Abidzar, yang merupakan anak kedua dari Alm. Ustadz Jefri Al-Buchori (Uje) dan Pipik Dian Irawati. Bermula saat Abidzar dan Ariel Tatum menjadi pemeran utama dalam film a Business Proposal yang di remake dari drama Korea. Berdasarkan beberapa sumber dari video di Tiktok, Abidzar dinilai tidak menghargai karya seni original dari film remake yang diperankan. Akibatnya, film remake a Business Proposal sepi penonton sejak hari pertama penayangan. Bahkan film ini tidak bertahan lama di beberapa bioskop. Dalam salah satu wawancara, Abidzar terlihat arogan, sombong, omongan tinggi, bahkan tidak tahu malu karena perbuatannya tersebut. “Ini adalah karakter yang akan gua buat sendiri,” “Gua nggak pengen dibikin plek ketiplek juga.” kata Abidzar. Dia juga sengaja tidak menonton drama Koreanya, dan memilih untuk membuat karakternya sendiri. Saat ditegur oleh fans, Abidzar malah bilang kalau fans drakornya fanatik. Dia juga berkata kalau tidak mau nonton, tidak usah ditonton. Endingnya, Falcon Pictures memposting surat terbuka dan Abidzar meminta maaf lewat tulisan di akun Instagram pribadinya. Kasus ini memicu amarah netizen terutama fans dari drakor tersebut hingga pada akhirnya Abidzar kena cancel culture yang tentunya merugikan dirinya sendiri dan orang lain.

Meskipun cancel culture bisa menjadi alat untuk memperjuangkan keadilan sosial, kita tetap perlu berhati-hati dalam menindaklanjuti sesuatu. Tidak semua kesalahan pantas dibalas dengan hukuman sosial seumur hidup, dan tidak semua orang yang bersalah harus dihancurkan reputasinya tanpa peluang untuk belajar atau memperbaiki diri. Yang lebih penting, kita harus mengembangkan budaya diskusi yang sehat, di mana kritik disampaikan dengan data dan empati, bukan amarah maupun dendam. Tentunya kasus-kasus yang pernah terjadi bisa menjadi pembelajaran untuk setiap orang kedepannya untuk selalu menjaga sikap dimanapun dan kapanpun.

Cancel culture terdengar kejam, namun hal ini bertujuan untuk memberikan konsekuensi sosial bagi para publik figur atas tindakan tidak etis atau perilaku mereka yang melanggar norma. Mengapa demikian? Karena publik figur dinilai memiliki pengaruh besar di masyarakat, sehingga tindakan mereka perlu di kritisi agar tidak memberikan contoh buruk atau menormalisasi perilaku yang tidak pantas. 

 

Cancel culture akan tetap menjadi bagian dari dinamika sosial media, namun peran kita sebagai pengguna sangat penting dalam menentukan apakah budaya ini membawa perubahan positif atau malah menciptakan ketakutan, trauma, dan pembungkaman terhadap seseorang. Maka, sebelum terburu-buru menghakimi atau meng-cancel seseorang, alangkah baiknya kita bertanya: apakah ini bentuk tanggung jawab kita, atau hanya sebagai pelampiasan emosi sesaat?

Penulis : Novita Sri Ramadhani (L1B022015)

Referensi :

https://www.ums.ac.id/berita/teropong-jagat/cancel-culture-dan-ketegasan-masyarakat-untuk-pesohor 

https://vt.tiktok.com/ZSkvKM4UL/ 

Muharman, N., Pratama, M. Y. T., Rahmawati, A., Anisah, N., Sartika, M., & Yanuar, D. (2022). Cancel culture sebagai bentuk kontrol sosial di Twitter. Diakses dari file:///C:/Users/acer/Downloads/4-Nadia+et+al.pdf 

 


Comments

Popular posts from this blog

Kuliah atau Kerja? Menimbang Prioritas Anak Muda Masa Kini

Keadilan Itu Ada, Tapi Tidak Untuk Semua

Komunikasi dalam Sunyi: Strategi Komunikasi Orang Tua Dalam Membangun Dunia Anak Autis