TAMBANG MASUK PULAU KECIL, UNDANG-UNDANG TINGGAL PASAL
Di
tengah meningkatnya kesadaran global tentang pentingnya perlindungan lingkungan
dan krisis iklim yang kian mendesak, Indonesia justru mengambil langkah
kontroversial. Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
25 Tahun 2024 yang memberikan kemudahan izin usaha pertambangan kepada
organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Aturan ini sontak menuai polemik,
terutama karena membuka celah bagi eksploitasi sumber daya alam di kawasan
pesisir dan pulau-pulau kecil—wilayah yang secara hukum seharusnya dilindungi.
Sesuai
dengan Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang telah
diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, pemanfaatan pulau-pulau
kecil dan perairan sekitarnya untuk kegiatan pertambangan secara tegas
dilarang. Larangan ini dibuat bukan tanpa alasan. Pulau-pulau kecil memiliki
ekosistem yang sangat rentan, dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya sangat
bergantung pada kelestarian lingkungan. Namun dalam PP terbaru, tidak terdapat
larangan eksplisit mengenai wilayah mana yang tidak boleh ditambang oleh ormas
keagamaan. Ini membuka potensi pelanggaran hukum yang dilegalkan secara
administratif.
Kebijakan
ini menimbulkan banyak pertanyaan: mengapa pemerintah membuka ruang bagi
pertambangan di kawasan yang jelas-jelas dilindungi oleh undang-undang? Mengapa
ormas keagamaan yang seharusnya bergerak di bidang moral dan spiritual justru
didorong untuk mengelola tambang—sektor industri yang terkenal rakus terhadap
alam?
Sejumlah
organisasi lingkungan seperti WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menilai
langkah ini sebagai bentuk “balas budi politik” di penghujung masa jabatan
Presiden. Dalam laporan Mongabay (4 Juni 2024), mereka memperingatkan bahwa
regulasi ini bisa memperparah kerusakan lingkungan sekaligus memicu konflik
sosial di tingkat lokal, terutama jika terjadi perebutan lahan tambang di
daerah-daerah rawan. Hal serupa juga disampaikan oleh para akademisi dan tokoh
masyarakat sipil yang menyebut PP ini tidak hanya bertentangan dengan semangat
hukum lingkungan, tapi juga membuka peluang bagi eksploitasi tanpa kontrol.
Contoh
nyata dampak buruk pertambangan di pulau kecil bisa dilihat dari kasus Wawonii
di Sulawesi Tenggara atau Gebe di Maluku Utara. Ketika tambang masuk, hutan
ditebang, air menjadi tercemar, dan nelayan kehilangan akses ke wilayah tangkap
mereka. Warga yang mempertahankan lahannya sering kali dikriminalisasi,
sementara korporasi dan pemegang izin terus diberi karpet merah. Jika tren ini
diteruskan, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada pulau-pulau kecil
lainnya di Indonesia yang selama ini masih terselamatkan dari kerusakan.
Di
sisi lain, dalih pemerintah yang menyebut kebijakan ini bertujuan untuk
“memberdayakan ekonomi umat” terdengar kontradiktif. Bagaimana mungkin
memberdayakan lewat cara yang justru bisa menghancurkan sumber daya utama
masyarakat pesisir? Jika tujuan utamanya adalah pemberdayaan ekonomi, mengapa
tidak dikembangkan sektor lain seperti pertanian, perikanan, atau energi
terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan?
Lebih
jauh lagi, keterlibatan ormas keagamaan dalam sektor pertambangan menimbulkan
dilema moral. Beberapa tokoh agama secara terbuka menolak gagasan ini. Mereka
menyatakan bahwa tugas lembaga keagamaan adalah membina umat, bukan menjadi
pemain dalam industri yang penuh konflik kepentingan dan rawan korupsi. Ketika
nilai-nilai spiritual dipakai sebagai tameng untuk kepentingan ekonomi, maka
yang terjadi bukanlah pemberdayaan, melainkan pembusukan nilai.
Sayangnya,
perdebatan soal izin tambang ini tidak hanya berkutat pada soal hukum atau
moralitas, tapi juga memperlihatkan bagaimana negara bisa semena-mena
menafsirkan hukum sesuai kehendaknya. Ketika undang-undang yang jelas-jelas
melarang pertambangan di pulau kecil bisa dikesampingkan oleh sebuah peraturan
pemerintah, maka kepercayaan publik terhadap sistem hukum pun dipertaruhkan.
Apa gunanya hukum jika ia bisa dilangkahi begitu saja oleh kekuasaan?
Pemberian
izin tambang kepada ormas keagamaan adalah gejala dari masalah yang lebih
besar: pendekatan pembangunan yang masih berpijak pada eksploitasi sumber daya
alam tanpa memikirkan keberlanjutan. Dalam narasi resmi, pembangunan selalu
terdengar mulia. Tapi dalam praktiknya, siapa yang diuntungkan dan siapa yang
dikorbankan?
Jika
tidak ada kontrol dan penolakan dari masyarakat sipil, maka pulau-pulau kecil
yang dulunya menjadi surga alami bisa berubah menjadi lahan gersang yang
ditinggalkan setelah dieksploitasi. Ini bukan soal anti-pembangunan. Ini soal
bagaimana pembangunan dilakukan dengan adil, bermartabat, dan berpihak pada
masa depan, bukan sekadar keuntungan jangka pendek. Jika ini terus dibiarkan,
maka rusaknya bukan hanya alam, tapi juga akal sehat kita sebagai bangsa.
Penulis
: Natha Apsara (L1B022069)
Comments
Post a Comment